Bayang-Bayang 2017 mengancam Yudea - Samaria

Setelah membahas pesan profetik tahun 2017 secara Alkitabiah, selanjutnya kita akan melakukan studi historis konflik Israel - Arab dan mengamati dinamika politik regional yang berkembang menjelang dan memasuki 2017

Bayang-Bayang Sejarah

Selain penuh dengan berbagai tanda langit besar, tahun 2017 juga merupakan tahun istimewa yang sangat berpotensi untuk terjadinya "Great Tribulation" di Israel. Tahun 2017 adalah tahun yang penuh dengan peringatan peristiwa penting dalam sejarah konflik bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Arab di sekitarnya.

Tahun 2017 adalah tahun peringatan ke-100 peristiwa Balfour 1917, Sekretaris Luar Negeri Kerajaan Inggris Raya: Lord Arthur James Balfour akhirnya mengeluarkan surat deklarasi untuk pembentukan negara Israel untuk rumah nasional bagi bangsa Yahudi dari seluruh dunia. Deklarasi Balfour itu diserahkan kepada Walter Rothschild generasi kedua dari keluarga Rothschild pada tanggal 2 November 1917. Walter Rothschild adalah salah satu pemimpin dari komunitas Yahudi di Inggris dan aktivis Federasi Zionis di Inggris dan Irlandia pada saat itu.

Latar belakang keputusan Lord Balfour mengeluarkan deklarasi itu sedikit banyak dipengaruhi imam kaum Injili di Inggris Raya pada waktu itu. Jemaat orang percaya di Inggris Raya sejak abad 19 telah menyadari nubuat kepulangan bangsa Israel ke tanah perjanjian akan segera menjadi kenyataan. Dan mereka meyakini bahwa negara Inggris harus memainkan peran untuk mewujudkan nubuat itu agar Kedatangan Kristus kedua kali dapat segera di genapi.

Deklarasi Balfour ini kemudian menjadi fondasi bagi pergerakan kaum Yahudi zionis untuk berbondong-bondong pulang ke tanah perjanjian dan merintis negara Israel merdeka. Itulah sebabnya, Kerajaan Inggris dan keluarga Rothschild begitu dibenci oleh kaum anti Zionis. Dan ulang tahun peristiwa Balfour selalu menjadi panggung politik global untuk menyalahkan Inggris sebagai penyebab konflik berkepanjangan antara Israel dan bangsa-bangsa Arab. Pemimpin otoritas Palestina Mahmud Abbas dalam usahanya menekan Inggris dan Eropa secara politik pernah menyatakan rencananya untuk menuntut pemerintah Inggris atas putusan Balfour seratus tahun yang lalu.

Tahun 2017 ini merupakan ulang tahun seabad dari peristiwa Balfour, kelihatannya pihak Palestina akan menggunakan kesempatan ini untuk kembali menekan Barat untuk "merevisi" kebijakan yang mereka anggap menjadi biang konflik di Timur Tengah.

Tahun 2017 adalah juga peringatan 70 tahun "Partition Plan" atau resolusi PBB No 181, yang menetapkan pembagian wilayah di bekas mandat Inggris di "Palestine" ( Israel ) menjadi dua negara : Yahudi dan Arab yang terpisah. Pada 29 November 1947, PBB menetapkan resolusi ini dan menetapkan kota Yerusalem berada di bawah rezim khusus International. Namun resolusi ini di toalak mentah-mentah oleh para pemimpin Arab, dan perang sipil pun berkobar dan resolusi itu tidak pernah diimplementasikan.

Belakangan pada tahun 1988 Organisasi  Pembebasan Palestina ( PLO ) menerbitkan deklarasi Kemerdekaan Palestina berdasarkan pada resolusi No 181. Sejak saat itu Palestina selalu minta dukungan kepada masyarakat International untuk mewujudkan negara Palestina merdeka berdasar resolusi tahun 1947.

Tahun 2017 ini, pada ulang tahun ke -70 Partition Plan PBB, merupakan momentum yang pasti akan dimanfaatkan dengan baik oleh negara-negara Arab untuk berbalik mendukung resolusi PBB No 181 tahun 1947. 

Sementara itu tahun 2017 juga adalah tahun peringatan ke-50 pengambilalihan kota Yerusalem oleh Israel pada peristiwa perang Enam hari tahun 1967.

Setelah perang Kemerdekaan usai Mei tahun 1949, Yerusalem dan sebagian besar wilayah Yudea dan Samaria masih berada di dalam kekuasaan Yordania. Kurang lebih 19 tahun Israel merdeka tanpa kota Yerusalem dan wilayah Yudea-Samaria. Baru Juni 1967 melalui peristiwa Perang Enam Hari, Israel berhasil merebut Yerusalem, Yudea dan Samaria, bahkan dataran tinggi Golan di utara perbatasan dengan Suriah, Gaza dan Sinai di selatan perbatasan dengan Mesir. Peristiwa ini di cap sebagai pendudukan Israel secara tidak sah atas wilayah Arab ( Palestina )samapai dengan hari ini. Para pemimpin Arab selalu mendesak dunia International untuk menekan Israel agar mau mengembalikan Yerusalem dan wilayah Yudea dan Samaria kepada pihak Palestina.

Di ulang tahun ke-50 peristiwa perang Enam Hari, ulang tahun ke-70 Partition Plan PBB tahun 1947 dan ulang tahun ke-100 Deklarasi Balfour, sudah barang tentu Israel akan mendapat tekanan hebat dari dunia International. Dan semua itu bukan sekedar wacana, karena gerakan persiapan ke arah sana telah terjadi sebelum masuk 2017 sekalipun.


Gerilya menjelang 2017

Bermula dari sebuah konferensi di gedung Istana Bangsa-bangsa ( Palais Des Nations ), markas PBB di Genewa-Swiss, pada 29-30 Juni 2016. Utusan vatikan untuk PBB Uskup Agung Ivan Jurkovic menyampaikan intervensi agar komite belajar dari konferensi yang lalu-lalu dan menemukan ide-ide baru untuk mendapatkan dukungan International yang lebih kuat kepada proses perdamaian Isrel-Palestina. Pada kesempatan itu Jurkovic menyinggung bahwa sudah 69 tahun resolusi PBB No 181 tahun 1947 tetapi hanya setengah terlaksana, "Almost sixty-nine years after its adoption by the United Nations General Assembly, Resolution 181 remains only half-fullfiled". Wakil Vatikan itu mengangkat pentingnya pendekatan yang disebutnya "Diplomasi Informal" disamping diplomasi negara, untuk memberikan konstribusi positif yang kuat untuk mencapai perdamaian.


Ternyata Vatican tidak hanya bicara, tetapi mereka memiliki jaringan yang kuat untuk melakukan "Diplomasi informal" atau lobi kepada pejabat-pejabat tinggi tingkat dunia International. Sebuah Organisasi yang beranggotakan para politisi awam dan imam Katholik bernama Pax Christi sangat aktif bergerak melakukan "Diplomasi Informal" ini kepada para pemimpin dunia. Dalam Websitenya Pax Christi International mengakui bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan perdamaian global dan memiliki akses yang cukup untuk forum kebijakan International. 
"Pax Christi International memegang status konsultatif khusus dengan PBB di New York, Jenewa dan Wina serta dengan UNESCO di Paris. Pax Christi International juga memiliki wakil resmi di badan persatuan negara-negara Afrika, Uni Afrika di Addis Ababa dan berpartisipasi dalam Dewan Eropa, akses ke Parlemen Eropa serta komisi Eropa". Pax Christi adalah Organisasi yang sangat berpengaruh di politik global.

Salah satu hasil dari lobi Pax Christi langsung muncul kepermukaan pada pertengahan Oktober 2016. UNESCO Badan Keilmuan dan Kebudayaan PBB mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Bukit Bait Suci ( "Temple Mount" ) di Yerusalem tidak ada kaitannya dengan bangsa-bangsa Yahudi dan sepenuhnya milik Muslim. Pernyataan kontroversial ini langsung mendapat sambutan gembira dari negara-negara Islam tetapi tidak sedikit kecaman bahwa sebagai Lembaga Keilmuan dan Kebudayaan keputusan UNESCO dinilai mengabaikan sejarah. Perdana Menteri Netanyahu sangat berang dan langsung memutuskan aliran dana Israel untuk UNESCO. Netanyahu mengatakan bahwa UNESCO telah kehilangan legitimasinya, "Dengan mengatakan Israel tidak memiliki kaitan dengan "Temple Mount" dan Tembok Ratapan, sama saja mengatakan bangsa China tidak memiliki keterkaitan dengan Tembok Besar China atau Mesir tidak memiliki kaitan dengan piramid-piramid."

Setelah sepanjang 2016 bergerilya dalam apa yang mereka sebut sebagai "diplomasi informal" kepada para pemimpin dunia, pada awal Desember Pax Christi menerbitkan seruan resmi agar tahun 2017 menjadi akhir dari 'Pendudukan Israel atas wilayah Palestina'. Dalam pernyataan resmi Pax Christi mengangkat isu yang sama yang disinggung Uskup Agung Jukovic di Genewa yaitu Resolusi PBB No 181 yang akan mencapai 70 tahun pada 2017. Sekaligus ulang tahun ke-100 Deklarasi Balfour dan 'Pendudukan' Yerusalem dan Yudea-Samaria oleh Israel sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967 yang akan genap 50 tahun pada 2017.



Pax Christi International

0 komentar:

Posting Komentar